Baca Artikel Sebelumnya : SADAR KAYA : “Millionaire Mindset”
Tak lama setelah dia (penagih hutang) pergi datanglah pak Ali dengan Kijang tuanya. Tanpa basa basi langsung saya peluk erat dia.
“Pak Ali, syukron, terima kasih,” kata saya.
“Ayo ke dokter mas, aku bawa Fathur, mas gendong Azka,” katanya singkat.
Setelah 2 tahun dihajar musibah yang merusak keyakinan saya, akhirnya saat itu saya menyadari satu hal, semua masalah yang saya alami itu berasal dari diri saya sendiri.
Hal lain diluar diri saya hanyalah pelengkap, Saya langsung berdoa, “Maafkan saya ya Allah, ampuni saya. Engkau begitu mulia dan saya selama ini salah memandangmu. Saya sadar bahwa saya sendirilah yang harus bertanggung jawab dan menyelesaikan semua ini. Saya lah yang ingkar sepenuhnya, maafkan saya telah meragukan kuasa-Mu ya Allah.”
Saya memilih untuk berdamai dengan Tuhan dan saya ingin memulai sesuatu dengan kesadaran penuh untuk mengubah nasib saya.
Menulis ulang sejarah hidup saya, saya mendapat semacam pemahaman bahwa cara berpikir saya saat itu tidak bekerja dengan benar.
Buktinya saya rugi, buktinya saya bangkrut. Buktinya semua orang menjauh, artinya saya harus merubah cara berpikir. Saya harus kemana dan bagaimana saya bisa mengubahnya? Itulah pertanyaannya.
Tak Lama setelah menjual rumah, saya pindah ke rumah kontrakan yang sempit. Suatu sore tetangga rumah kontrakan saya pulang dari kantor, kaca mobilnya terbuka separuh.
Dia rupanya ingin membuang sesuatu mungkin sampah, agaknya dia tidak melihat saya yang berdiri disisi jalan tersebut, mungkin karena Maghrib yang pencahayaannya mulai samar. Mungkin juga dia tidak fokus karena sibuk mengumpulkan barang yang akan dibuangnya.
Bruk… segumpal kertas jatuh tepat di kaki saya. Entah mengapa saya tergerak untuk memungutnya, mungkin karena saya tertarik dengan tulisannya yang berwarna merah mengkilat. Setelah membuka lipatannya yang membaca kertas itu ternyata merupakan brosur ‘Millionaire Mindset’ Training di Australia.
Saya merasa aneh dan terkejut inikah jawaban dari doa yang saya panjatkan?
Saya berdiri termenung, rupanya tetangga saya tadi baru sadar kalau sampah yang dibuangnya jatuh di depan saya. Dia pun menghampiri saya, “Mas, maaf aku nggak lihat,” katanya dengan kikuk.
“Lho, gak apa-apa, akunya juga lagi ngelamun. Aku baru ‘ngeh’ setelah melihat brosur ini,” kata saya berbasa basi sambil menunjukan lembaran tersebut.
“Ya, tadi saya dapat dari kantor tapi sepertinya nggak mungkin saya kesana. He he… bukannya gak butuh jadi orang kaya sih, tapi harganya itu lho buat seminggu saja Rp 30 juta, mending juga buat modal dagang,” urainya.
Saya hanya mengangguk-angguk tersenyum sopan. “Saya pamit ya, Pak Syarif,” kata saya.
“Ya mas, maaf ya tadi, benar-benar nggak sengaja mas,” katanya sungguh-sungguh.
“Gak apa-apa bos santai saja,” kata saya lagi.
Setelah itu saya langsung sibuk berfikir dimana saya bisa cari uang Rp 30 juta, belum lagi sangu untuk keluarga dirumah sementara saya pergi. Yang jelas saya sudah bertekad untuk berubah, saya melihat ini sebagai solusinya, saya percaya itu.
Singkat cerita, harta terakhir saya Motor Tiger, Mesin Jahit dan beberapa barang keluarga, saya jual, saya nekat terbang ke Negeri Kangguru (Australia).
Saya menginginkan ilmu tersebut, sayapun berangkat untuk mengikuti ‘Millionaire Mindset’ Training disana dengan harapan bisa menerapkannya untuk memperbaiki kondisi ekonomi saya disini.
Kira-kira sebulan setelah kembali dari pelatihan selama 7 hari tersebut, ternyata tidak ada perubahan apa-apa dalam perjalanan hidup saya.
Baca : Buku: Sadar Kaya, Sebuah Prakata
Saya masih menganggap bahwa apa yang saya pelajari itu agak aneh, agak nggak kena dilogika. “Mek ngono tok, opo iyo (kayak gitu doang, memang bisa),” batin saya.
Memang benar saya meragukan dan saya menganalisis, mencoba mengurai maksud dari pelatihan tersebut, tetapi saya lelah. Keadaan saya masih begitu-begitu saja, saya belum bisa dapat uang lagi, saya belum bisa melunasi tunggakan hutang.
Saya belum bisa merubah nasib saya, apakah saya harus belajar lagi?
Saya mencoba mengingat mundur pengalaman hidup saya semua itu terjadi hingga diusia 26 tahun. Benar, saya merasa seakan berjalan dijalan bebas hambatan semua mudah, semuanya gampang pada saat itu. Bahkan saya menggampangi proses yang saat ini justru proses merupakan hal yang paling saya hormati.
Barulah sejak usia 28 tahun, kehidupan saya mengalami pasang surut yang luar biasa, baik dari masalah pribadi yang personal, masalah spritual ketuhanan, masalah rumah tangga, masalah Parenting hingga keuangan.
Baca : SADAR KAYA : “Otak Sama, Nasib Beda”
Dikala saya berfikir laut itu berair tenang, saya memilih mengangkat jangkar dan mengembangkan layar ke sebuah tujuan pasti yaitu ingin sukses dengan tujuan hanya tahu satu arah yaitu kedepan.
Sebuah kesombongan yang saya bayar sangat mahal, sangat melelahkan, penuh duka, air mata dan keringat, ternyata laut didepan tak semanis gelombang dipantai.
Dalam perjalanan, ombak besar, angin kencang, bahan bakar kurang, sumber daya terbatas. Satu hal yang saya lupa, saya tidak membawa kompas penunjuk arah, dalam artian saya mengarungi samudera tanpa ilmu, tanpa petunjuk, tanpa pembimbing, mentang-mentang punya Glory from the Past (kisah sukses masa lalu).
Saya merasa bisa melakukan apa saja, inilah biang masalah saya dimasa kedepannya.
Sejak keputusan mengarungi samudera, hingga sampailah saya dititik ketika kapal saya akhirnya karam ke dasar samudera, sementara badan saya terdampar dipulau kecil sendiri, dengan kebutuhan dasar seadanya.
Saya hanya bisa diam, meratap pun tidak bisa, air mata habis, tenaga tak punya. Yang ada hanya nafas dibadan, itupun setiap tarikan nafas terasa sesak, seakan-akan dada ini mau meledak karena terisi oleh rasa kesal, lelah, marah dan kecewa.
Karena itu, ketika saya memutuskan untuk berubah artinya saya tidak mau melakukan semuanya dengan cara yang sama seperti masa lalu. Saya harus melakukannya dengan cara yang berbeda.
Karena itulah saya memutuskan bahwa saya harus berimu agar saya memiliki platform atau pondasi baru, terutama cara untuk saya berfikir. Ibaratnya, saya bukan hanya perlu belajar dan menginstall software baru tapi ‘OS’ atau Operating Systemnya harus saya reset untuk bisa terhubung dengan software tersebut.
Sederhananya begini, jika otak kita yang kemampuannya sangat dahsyat ini adalah hardware pemberian Tuhan, softwarenya kita sendiri yang pasang, sebut saja software sukses, software sehat, software bahagia. Itu semua manusia yang install.
Jadi hardwarenya memang pemberian Tuhan, tetapi softwarenya buatan manusia. Mungkin banyak pembaca yang berkerut ketika saya membawa-bawa hal ini.
Tapi coba saya berikan ilustrasi, seorang anak yang hidupnya dikritik, dimarahi, ditekan, dipaksa, diharuskan, dibatasi, dilarang, dimaki dan dihina akan membuat dirinya tumbuh sebagai pribadi yang peragu, pemarah dan pendendam.
Bandingkan dengan anak yang didorong, dipuji, disayang, diperhatikan, didukung dan dikelilingi suasana penuh canda tawa. Sang anak akan memiliki platform hidup lebih ringan, ‘fun’ banyak senyum dan vibrasi dirinya disukai orang.
Yang saya maksud disini adalah, software seseorang diinstall oleh orang tua dan lingkungan sekitarnya dan tentu saja software yang buruk bisa diganti, diubah bahkan dibuang bila kita mau.
Sesuatu yang dipasang umumnya bisa juga dilepas, bukan sesuatu yang permanen, teman-teman dari bidang Fsikologi mungkin mengenal ini sebagai sesi Terapiotik, istilah dalam dunia Fsikologi.
Ketika mencari kompas ilmu dan perubahan pola pikir itulah baru saya sadar, selama ini saya menerima hasil sebuah printer yang isinya salah, lalu saya mati-matian memberi ‘tip ex’ pada tulisan dalam kertas itu begitu seterusnya.
Saya tidak sadar bahwa yang harus saya ubah justru dokumen yang akan di print, bukan yang sudah di print. Yang salah bukan printernya, melainkan data didalam komputernya. Kalau isi komputernya sudah benar baik itu softwarenya maupun datanya, hasil yang diprint pasti tidak akan salah.
Sumber : Buku ‘SADAR KAYA’ Karya : Mardigu Wowiek Prasantyo
Baca Artikel Berikutnya : Buku ‘Sadar Kaya’ : Jangan Membatalkan Doa